Bagi kehidupan ini sendiri, manakah yang lebih penting dicari terlebih dahulu: cari uang atau kawan? Banyak orang berpendapat yang lebih penting itu cari uang. Sebab kalau banyak uang, maka kawan pun akan datang dengan sendirinya. Benarkah?
Tetapi seorang sahabat tidak sependapat. Ia protes keras. Menurutnya, kalau orang mencari uang terlebih dahulu dan kalau berhasil, maka selama ia banyak uang ia akan mampu membeli banyak makanan. Dengan banyak makanan, ia dapat menjamu banyak orang. Semua senang dengan jamuan makan. Semua orang senang berkawan dengan orang yang banyak uang. Tetapi ingat bahwa ada pula pepatah mengatakan, "Banyak uang, kau abangku nan tersayang. Tak punya uang, abang ‘kan kutendang".
Kocap carita ada seorang pengusaha yang lumayan sukses, untuk ukuran kota kecil tentunya. Usahanya maju dan ia juga senang makan dan senang menjamu orang. Maka setiap sore banyak kawan bertandang. Makan sampai kenyang, minum sampai teler. Baik kawan, relasi dagang, maupun… biasalah mereka yang dari instansi yang terkait dengan bidang usahanya.
Suatu saat ia mengalami krisis manajemen sehingga cash flow menjadi kacau dan tekor berat. Para kreditor pun mulai unjuk gigi. Maka hidup tidak lagi seindah semula seperti saat ia masih berjaya. Undangan makan otomatis semakin jarang. Maka kawan pun satu per satu menghilang. Setelah tua terpaksa hidup merana tanpa kawan bertandang.
Maka kesimpulan sama seperti sahabat tadi. Dalam hidup ini carilah dahulu kawan sebanyak-banyaknya. Banyak uang tentu merupakan suatu bonus. Maka kawan-kawan pun dapat juga menikmati cipratan bonus tersebut. Sahabat sejati tidak tergantung kepada tebal tipisnya isi kantong. Ada banyak makan banyak, ada sedikit makan sedikit. "Mangan ora mangan sing penting kumpul", kata mas Kimpul van Gunung Kidul.
Pada masa usia tua, rumah pasti semakin sepi. Apa lagi kalau anak hanya do-re-mi. Kebanyakan orang hanya tinggal berdua dengan pasangan hidupnya. Belum lagi kalau ada cucu. Sebentar mengurus cucu anak yang ini. Di lain waktu mengurus cucu anak yang lainnya. Ya kalau anaknya hanya dua. Bagaimana kalau anaknya sampai berjumlah empat atau lima?
Ada kenalan yang setengah tahun tinggal di Singapura dan setengah tahunnya lagi giliran tinggal di Jakarta. Kawan yang lain bolak-balik terus Jakarta-Sidney. Mau bagaimana lagi? Suaminya pernah bekerja dengan ekspatriate di sana. Makan hati, katanya. Merasa kian tidak betah, akhirnya ia memaksa diri kembali ke Jakarta. Kemudian ia pun bekerja pada suatu perusahaan otomotif terkemuka. Sedangkan kedua anaknya tidak ada yang mau tinggal di Jakarta. Kawan-kawan sekolah mereka semuanya di Sidney, tak seorang pun kawan di Jakarta. Maklum sejak preschool mereka sudah sekolah di Sidney. Anak ABC istilahnya. Australian Born Chinese.
Apalagi kini sebagai generasi muda, mana mau mereka diajak hidup di Jakarta. Mana betah? Berlibur beberapa hari saja mereka terus merengek mau segera kembali ke Sidney.
Akibatnya sang ibulah yang jadi korban. Pontang-panting ke sana kemari. Seperti orang naik oplet Jakarta ke Jatinegara. Tinggal terus di Sidney bagaimana “nasib” suaminya di Jakarta? Ganteng juga sih. Jadi kuatir jugalah kalau digait perempuan lain.
Sebaliknya, selagi di Jakarta terus terpikir bagaimana anak-anaknya di Sidney. Kini malahan ia sudah punya cucu. Lebih parah lagi, anaknya bekerja. Mau bayar baby sitter mahal.
Ketika ditanya, sampai kapan ia mau terus bolak-balik seperti kitiran begitu? Jawabnya pasrah, "Entahlah, selagi masih kuat saja." Dikuat-kuatkan sajalah. Atau sampai suaminya pensiun. Setelah itu terserah dia. Mau ikut ke Sidney, OK. Atau mau tetap memilih tinggal di Jakarta, terserah dia. Nah lho, bisa gawat nih!
Itulah the sad side of the story bila tak punya banyak sahabat. Sendirian terus di rumah bisa setrip barangkali! Maka kata sahabat itu, yang penting punyailah banyak sahabat. Peliharalah sahabat yang ada. Tentu untuk itu diperlukan semacam biaya perkawanan. There is no such free lunch in the world. Especially during this damned global crisis era!
Banyak duit belum tentu menjamin kebahagiaan. Banyak kawan juga memang belum tentu pasti membahagiakan. Tetapi banyak sahabat minimal juga bakal banyak mengurangi kesepian di hari tua bukan?
Pembinaan sahabat memerlukan waktu yang sangat panjang. Lalu kenapa tidak dimulai dari sekarang? Selagi kau masih muda, kawan!
Tetapi seorang sahabat tidak sependapat. Ia protes keras. Menurutnya, kalau orang mencari uang terlebih dahulu dan kalau berhasil, maka selama ia banyak uang ia akan mampu membeli banyak makanan. Dengan banyak makanan, ia dapat menjamu banyak orang. Semua senang dengan jamuan makan. Semua orang senang berkawan dengan orang yang banyak uang. Tetapi ingat bahwa ada pula pepatah mengatakan, "Banyak uang, kau abangku nan tersayang. Tak punya uang, abang ‘kan kutendang".
Kocap carita ada seorang pengusaha yang lumayan sukses, untuk ukuran kota kecil tentunya. Usahanya maju dan ia juga senang makan dan senang menjamu orang. Maka setiap sore banyak kawan bertandang. Makan sampai kenyang, minum sampai teler. Baik kawan, relasi dagang, maupun… biasalah mereka yang dari instansi yang terkait dengan bidang usahanya.
Suatu saat ia mengalami krisis manajemen sehingga cash flow menjadi kacau dan tekor berat. Para kreditor pun mulai unjuk gigi. Maka hidup tidak lagi seindah semula seperti saat ia masih berjaya. Undangan makan otomatis semakin jarang. Maka kawan pun satu per satu menghilang. Setelah tua terpaksa hidup merana tanpa kawan bertandang.
Maka kesimpulan sama seperti sahabat tadi. Dalam hidup ini carilah dahulu kawan sebanyak-banyaknya. Banyak uang tentu merupakan suatu bonus. Maka kawan-kawan pun dapat juga menikmati cipratan bonus tersebut. Sahabat sejati tidak tergantung kepada tebal tipisnya isi kantong. Ada banyak makan banyak, ada sedikit makan sedikit. "Mangan ora mangan sing penting kumpul", kata mas Kimpul van Gunung Kidul.
Pada masa usia tua, rumah pasti semakin sepi. Apa lagi kalau anak hanya do-re-mi. Kebanyakan orang hanya tinggal berdua dengan pasangan hidupnya. Belum lagi kalau ada cucu. Sebentar mengurus cucu anak yang ini. Di lain waktu mengurus cucu anak yang lainnya. Ya kalau anaknya hanya dua. Bagaimana kalau anaknya sampai berjumlah empat atau lima?
Ada kenalan yang setengah tahun tinggal di Singapura dan setengah tahunnya lagi giliran tinggal di Jakarta. Kawan yang lain bolak-balik terus Jakarta-Sidney. Mau bagaimana lagi? Suaminya pernah bekerja dengan ekspatriate di sana. Makan hati, katanya. Merasa kian tidak betah, akhirnya ia memaksa diri kembali ke Jakarta. Kemudian ia pun bekerja pada suatu perusahaan otomotif terkemuka. Sedangkan kedua anaknya tidak ada yang mau tinggal di Jakarta. Kawan-kawan sekolah mereka semuanya di Sidney, tak seorang pun kawan di Jakarta. Maklum sejak preschool mereka sudah sekolah di Sidney. Anak ABC istilahnya. Australian Born Chinese.
Apalagi kini sebagai generasi muda, mana mau mereka diajak hidup di Jakarta. Mana betah? Berlibur beberapa hari saja mereka terus merengek mau segera kembali ke Sidney.
Akibatnya sang ibulah yang jadi korban. Pontang-panting ke sana kemari. Seperti orang naik oplet Jakarta ke Jatinegara. Tinggal terus di Sidney bagaimana “nasib” suaminya di Jakarta? Ganteng juga sih. Jadi kuatir jugalah kalau digait perempuan lain.
Sebaliknya, selagi di Jakarta terus terpikir bagaimana anak-anaknya di Sidney. Kini malahan ia sudah punya cucu. Lebih parah lagi, anaknya bekerja. Mau bayar baby sitter mahal.
Ketika ditanya, sampai kapan ia mau terus bolak-balik seperti kitiran begitu? Jawabnya pasrah, "Entahlah, selagi masih kuat saja." Dikuat-kuatkan sajalah. Atau sampai suaminya pensiun. Setelah itu terserah dia. Mau ikut ke Sidney, OK. Atau mau tetap memilih tinggal di Jakarta, terserah dia. Nah lho, bisa gawat nih!
Itulah the sad side of the story bila tak punya banyak sahabat. Sendirian terus di rumah bisa setrip barangkali! Maka kata sahabat itu, yang penting punyailah banyak sahabat. Peliharalah sahabat yang ada. Tentu untuk itu diperlukan semacam biaya perkawanan. There is no such free lunch in the world. Especially during this damned global crisis era!
Banyak duit belum tentu menjamin kebahagiaan. Banyak kawan juga memang belum tentu pasti membahagiakan. Tetapi banyak sahabat minimal juga bakal banyak mengurangi kesepian di hari tua bukan?
Pembinaan sahabat memerlukan waktu yang sangat panjang. Lalu kenapa tidak dimulai dari sekarang? Selagi kau masih muda, kawan!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar